Pro kontra khitan perempuan bermula sejak 2002, berawal dari hasil penelitian yang dilakukan pada wanita muslim dewasa di negara-negara Afrika. Khitan dilakukan dengan cara memotong sebagian klitoris dengan tujuan agar wanita tidak dengan mudah mengumbar hasrat seksual. namun cara ini menimbulkan efek pada berkurangnya harmonisasi hubungan seksual suami istri. Banyak wanita diantara mereka yang mengalami kehilangan hasrat seksual karena proses khitan yang dilakukan dengan memotong sebagian klitoris. Beberapa pihak seperti Komite Cedaw dan American Medical Association menilai khitan pada perempuan merupakan tindakan mutilasi.
Klitoris (clitoris) dalam bahasa Indonesia sebagai Kelentit adalah organ reproduksi luar pada wanita yang kaya dengan saraf dan berfungsi dalam proses ereksi, sama dengan fungsi glans penis pada pria. Organ ini sangat penting dalam menciptakan hubungan suami istri yang harmonis.
Di Indonesia, pada tahun 2006 dengan terbit surat edaran Dirjen Bina Kesehatan Masyarakat Depkes RI nomor HK 00.07.1.31047 a, tertanggal 20 April 2006 tentang Larangan Medikalisasi Sunat Perempuan bagi Petugas Kesehatan. Sejak saat itu banyak bayi/anak perempuan tidak lagi dikhitan.
Tahun 2008, MUI dan cendikiawan muslim mengeluarkan fatwa menanggapi larangan khitan pada perempuan. Fatwa bernomor 9A tahun 2008 menyatakan bahwa khitan bagi perempuan adalah makrumah dan pelaksanaannya adalah salah satu bentuk ibadah yang dianjurkan.
Kontroversi ini kemudian dijawab dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XI/2010 yang menyatakan khitan perempuan adalah tindakan menggores kulit yang menutupi bagian depan klitoris, tanpa melukai klitoris.
Permenkes tersebut pada dasarnya telah sejalan dengan syariat, sebagaimana pendapat Ketua MUI Dr KH Ma’ruf Amin dalam (http://www.republika.co.id/berita/video/umat/13/01/22/mgzmvu-tolak-larangan-khitan-perempuan) yang menjelaskan bahwa prosedur pelaksanaan khitan perempuan menurut ajaran Islam cukup dengan hanya menghilangkan selaput yang menutupi klitoris, tidak dilakukan secara berlebih-lebihan.
Khitan bagi umat Islam laki-laki dicontohkan pertamakali oleh nabi Ibrahim AS dan bagi wanita di contohkan oleh Siti Hajar. Rasulullah pernah pernah bersabda ”Sayatlah sedikit dan jangan kau sayat yang berlebihan, karena hal itu akan mencerahkan wajah dan menyenangkan suami.” Meskipun hadis ini tidak sampai pada derajat sahih, namun dianggap cukup moderat dalam menjawab kotroversi pelaksanaan khitan yang sebaik-baiknya.
Secara hukum, pro kontra khitan sebenarnya tidak perlu di perdebatkan lagi karena ia merupakah salah satu syariat dalam ajaran islam. Sementara itu pelaksanaan syariat agama dilindungi dalam UUD, aturan yang lebih tinggi dari surat edaran dan peraturan menteri.
Pada kasus di Afrika yang menjadi sorotan Barat adalah pelaksanaan khitan yang berlebihan dengan memotong klotoris, ini jelas secara medis medis menimbulkan masalah bagi wanita, terutama dalam kehidupan seksual suami istri. Namun cara tersebut telah dijawab dengan fatwa dari MUI dan permenkes tentang khitan.
Umat islam sebaiknya jangan terprovakasi oleh opini yang berupaya mengaburkan pelaksanaan syariat. Disinilah beda orang berilmu tapi tidak beriman, dan orang berilmu dan beriman.
Komentar